Ketahanan
Pangan
sumber : pixabay.com |
Pangan merupakan kebutuhan dasar utama bagi manusia yang harus dipenuhi setiap saat. Hak untuk memperoleh pangan merupakan salah satu hak asasi manusia, sebagaimana tersebut dalam pasal 27 UUD 1945 maupun dalam Deklarasi Roma (1996). Pertimbangan tersebut mendasari terbitnya UU No. 7/1996 tentang Pangan. Sebagai kebutuhan dasar dan salah satu hak asasi manusia, pangan mempunyai arti dan peran yang sangat penting bagi kehidupan suatu bangsa. Ketersediaan pangan yang lebih kecil dibandingkan kebutuhannya dapat menciptakan ketidak-stabilan ekonomi. Berbagai gejolak sosial dan politik dapat juga terjadi jika ketahanan pangan terganggu. Kondisi pangan yang kritis ini bahkan dapat membahayakan stabilitas ekonomi dan stabilitas Nasional.
Menurut World Food
Summit pada tahun 1996 mendefinisikan ketahanan pangan terjadi apabila semua
orang secara terus menerus, baik secara fisik, sosial, dan ekonomi mempunyai
akses untuk pangan yang memadai/cukup, bergizi dan aman, yang memenuhi
kebutuhan pangan mereka dan pilihan makanan untuk hidup aktif dan sehat.
Menurut UU No. 18/2012
tentang Pangan. Disebutkan dalam UU tersebut bahwa Ketahanan Pangan adalah
"kondisi terpenuhinya Pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang
tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman,
beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama,
keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif
secara berkelanjutan".
Beberapa ahli sepakat
bahwa ketahanan pangan minimal mengandung dua unsur pokok, yaitu ketersediaan
pangan dan aksesesabilitas masyarakat terhadap pangan tersebut. Ketersediaan
dan kecukupan pangan mencakup kuantitas dan kualitas bahan pangan agar setiap
individu dapat terpenuhi standar kebutuhan kalori dan energi untuk menjalankan
aktivitas ekonomi dan kehidupan sehari-hari. Penyediaan pangan dapat ditempuh
melalui produksi sendiri dan impor dari negara lain. Komponen kedua yaitu
aksesbilitas setiap individu terhadap bahan pangan dapat dijaga dan
ditingkatkan melalui pemberdayaan sistem pasar serta mekanisme pemasaran yang
efektif dan efisien, yang dapat disempurnakan melalui kebijakan niaga, atau
distribusi bahan pangan dari sentra produksi sampai ke tangan konsumen.
Di Indonesia konsep
ketahanan pangan dituangkan dalam Undang-undang No.7 Tahun 1996 tentang Pangan.
Dalam definisi tersebut ditegaskan lima bagian dalam konsep tentang ketahanan
pangan tersebut, yaitu:
a. Terpenuhinya pangan
yang cukup dari segi jumlah (aspek ketersediaan/ availabelity), yaitu
bahwasanya pangan ada dan jumlahnya mencukupi bagi masyarakat, baik yang
bersifat nabati maupun hewani.
b. Terpenuhinya mutu
pangan (aspek kesehatan/ healthy), yaitu bahwasanaya pangan yang ada atau
diadakan memenuhi standar mutu yang baik dan layak untuk dikonsumsi manusia.
Kaitannya dalam pemenuhan kebutuhan gizi mencukupi kebutuhan akan karbohidrat,
protein, lemak, vitamin dan mineral.
c. Aman (aspek
kesehatan/ healthy), yaitu bahwasanya pangan yang dikonsumsi memenuhi standar
kesehatan bagi tubuh dan tidak mengandung bahan-bahan yang dapat membahayakan
kesehatan manusia.
d. Merata (aspek
distribusi/distribution), yaitu bahwasanya pangan terjamin untuk distribusi
secara merata ke setiap daerah sehingga pangan mudah diperoleh masyarakat.
e. Terjangkau (aspek
akses), yaitu bahwasanya pangan memungkinkan untuk diperoleh masyarakat dengan
mudah dan harga wajar
UU Pangan bukan hanya
berbicara tentang ketahanan pangan, namun juga memperjelas dan memperkuat
pencapaian ketahanan pangan dengan mewujudkan kedaulatan pangan (food
soveregnity) dengan kemandirian pangan (food resilience) serta keamanan pangan
(food safety). "Kedaulatan Pangan adalah hak negara dan bangsa yang secara
mandiri menentukan kebijakan Pangan yang menjamin hak atas Pangan bagi rakyat
dan yang memberikan hak bagi masyarakat untuk menentukan sistem Pangan yang
sesuai dengan potensi sumber daya lokal".
Kemandirian
Pangan
"Kemandirian
Pangan adalah kemampuan negara dan bangsa dalam memproduksi Pangan yang
beraneka ragam dari dalam negeri yang dapat menjamin pemenuhan kebutuhan pangan
yang cukup sampai di tingkat perseorangan dengan memanfaatkan potensi sumber
daya alam, manusia, sosial, ekonomi, dan kearifan lokal secara
bermartabat". "Keamanan Pangan adalah kondisi dan upaya yang
diperlukan untuk mencegah Pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan
benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia
serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat
sehingga aman untuk dikonsumsi".
Definisi ketahanan
pangan dalam UU No 18 tahun 2012 diatas merupakan penyempurnaan dan
"pengkayaan cakupan" dari definisi dalam UU No 7 tahun 1996 yang
memasukkan "perorangan" dan "sesuai keyakinan agama" serta
"budaya" bangsa. Definisi UU No 18 tahun 2012 secara substantif
sejalan dengan definisi ketahanan pangan dari FAO yang menyatakan bahwa
ketahanan pangan sebagai suatu kondisi dimana setiap orang sepanjang waktu,
baik fisik maupun ekonomi, memiliki akses terhadap pangan yang cukup, aman, dan
bergizi untuk memenuhi kebutuhan gizi sehari-hari sesuai preferensinya.
Organisasi Kesehatan
Dunia (World Health Organization, WHO) mengemukakan tiga pilar ketahanan
pangan, yaitu ketersediaan pangan, aksesibilitas pangan, dan pemanfaaatan
pangan (utilitas). Ketersediaan pangan menyangkut kemampuan individu memiliki
sejumlah pangan yang cukup untuk kebutuhan dasarnya. Sementara itu,
aksesbilitas pangan berkaitan dengan cara seseorang mendapatkan bahan pangan.
Sedangkan utilitas pangan adalah kemampuan dalam memanfaatkan bahan pangan
berkualitas.
Pemanfaatan
Pangan
Pemanfaatan pangan
merujuk pada penggunaan pangan oleh rumah tangga, dan kemampuan individu untuk
menyerap dan memetabolisme zat gizi (konversi zat gizi secara efisien oleh
tubuh). Pemanfaatan pangan juga meliputi cara penyimpanan, pengolahan dan
penyiapan makanan termasuk penggunaan air dan bahan bakar selama proses
pengolahannya serta kondisi higiene, budaya atau kebiasaan pemberian makan
terutama untuk individu yang memerlukan jenis makanan khusus, distribusi
makanan dalam rumah tangga sesuai kebutuhan 9 masing-masing individu
(pertumbuhan, kehamilan, menyusui dll), dan prioritas kesehatan masing-masing
anggota rumah tangga (Dewan Ketahanan Pangan 2009).
Kerawanan
Pangan
Kerawanan pangan dapat
bersifat kronis atau sementara/transien. Kerawanan pangan kronis adalah
ketidakmampuan jangka panjang atau yang terus menerus untuk memenuhi kebutuhan
pangan minimum. Keadaan ini biasanya terkait dengan faktor strukural, yang
tidak dapat berubah dengan cepat, seperti iklim setempat, jenis tanah, sistem
pemerintah daerah, kepemilikan lahan, hubungan antar etnis, tingkat pendidikan,
dll. Kerawanan Pangan Sementara (Transitory food insecurity) adalah
ketidakmampuan jangka pendek atau sementara untuk memenuhi kebutuhan pangan
minimum. Keadaan ini biasanya terkait dengan faktor dinamis yang berubah dengan
cepat seperti penyakit infeksi, bencana alam, pengungsian, berubahnya fungsi
pasar, tingkat besarnya hutang, perpindahan penduduk (migrasi) dll. Kerawanan
pangan sementara yang terjadi secara terus menerus dapat menyebabkan menurunnya
kualitas penghidupan rumah tangga, menurunnya daya tahan, dan bahkan bisa
berubah menjadi kerawanan pangan kronis (Dewan Ketahanan Pangan 2009).
Berbagai gejolak sosial
dan politik dapat juga terjadi jika ketahanan pangan terganggu. Kondisi kritis
ini bahkan dapat membahayakan stabilisasi nasional yang dapat meruntuhkan Pemerintah
yang sedang berkuasa. Pengalaman telah membuktikan kepada kita bahwa gangguan
pada ketahanan seperti kenaikan harga beras pada waktu krisis moneter, dapat
memicu kerawanan sosial yang membahayakan stabilitas ekonomi dan stabilitas
nasional. Untuk itulah, tidak salah apabila Pemerintah selalu berupaya untuk
meningkatkan ketahanan pangan bagi masyarakat, baik dari produksi dalam negeri
maupun dengan tambahan impor. Pemenuhan kebutuhan pangan dan menjaga ketahanan
pangan menjadi semakin penting bagi Indonesia karena jumlah penduduknya sangat
besar dengan cakupan geografis yang luas dan tersebar. Indonesia memerlukan
pangan dalam jumlah mencukupi dan tersebar, yang memenuhi kriteria konsumsi
maupun logistik; yang mudah diakses oleh setiap orang; dan diyakini bahwa esok
masih ada pangan buat rakyat.
Ketahanan pangan kita
tidak lepas dari sifat produksi komoditi pangan itu sendiri yang musiman dan
berfluktuasi karena sangat mudah dipengaruhi oleh iklim/cuaca. Perilaku
produksi yang sangat dipengaruhi iklim tersebut sangat mempengaruhi
ketersediaan pangan nasional. Kalau perilaku produksi yang rentan terhadap
perubahan iklim tersebut tidak dilengkapi dengan kebijakan pangan yang tangguh
maka akan sangat merugikan, baik untuk produsen maupun konsumen, khususnya
produsen berskala produksi kecil dan konsumen berpendapatan rendah.
Karakteristik komoditi pangan yang mudah rusak, lahan produksi petani yang
terbatas; sarana dan prasarana pendukung pertanian yang kurang memadai dan
lemahnya penanganan panen dan pasca panen mendorong Pemerintah untuk melakukan
intervensi dengan mewujudkan kebijakan ketahanan pangan.
Semoga bermanfaat....
No comments:
Post a Comment